Penguatan Forum Pembauran Kebangsaan di Pajangan Bantul


Pada tanggal 27-28 Agustus 2024, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Bantul menggelar acara Penguatan Forum Pembauran Kebangsaan di Ingkung Kwali 1, Kalak Ijo, Guwosari, Pajangan. Acara ini dihadiri oleh sekitar 50 peserta, termasuk sejumlah tokoh penting dan perwakilan mahasiswa dari berbagai provinsi di Indonesia.

 

 

Pada hari Pertama dibuka dengan sambutan Kepala Bakesbangpol Kabupaten Bantul, Stephanus Heru Wismantara, S.IP, M.M., menekankan pentingnya acara ini dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045. Ia menyebutkan bahwa generasi yang hadir dalam acara ini adalah calon pemimpin masa depan, generasi Z, yang akan memegang kendali atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia juga menegaskan bahwa Nusantara, sebagai wahana yang menarik perhatian negara lain sejak zaman dahulu, harus dipertahankan sumber dayanya agar tidak jatuh ke tangan asing. Wismantara juga mengajak seluruh peserta untuk terus merajut komponen kebangsaan guna memperkuat NKRI agar tidak terpecah belah.

Dalam kesempatan yang sama, Ade Putranto Prasetyo Wijiharto Tunggali, S.I.Kom., M.A, Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas 'Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, suku, agama, dan latar belakang. Keberagaman ini, menurutnya, merupakan kekuatan dan keunggulan bagi kemajuan Indonesia di era digital. Pemuda-pemudi Indonesia, katanya, memiliki peran penting dalam menjaga dan memperkuat keberagaman tersebut. Ia juga menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi digital sebagai strategi untuk memperkuat keberagaman di Indonesia.

Wijaya Tunggali, ST, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Bantul, menjelaskan bahwa FPK merupakan wadah informasi, komunikasi, konsultasi, dan kerjasama antara warga masyarakat. Forum ini, lanjutnya, bertujuan untuk menumbuhkan, memantapkan, memelihara, dan mengembangkan pembauran kebangsaan. Ia berharap FPK dapat menjadi forum dialog yang efektif, khususnya bagi mahasiswa lintas daerah, dalam menangkal dan mencegah hal-hal yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

 

 

Pada hari kedua kegiatan di Desa Kalakijo, para mahasiswa mendapat kesempatan berharga untuk mengenal lebih dekat sejumlah tradisi budaya lokal yang masih dilestarikan dengan baik. Salah satu yang diperkenalkan adalah Pekbung, sebuah kesenian musik tradisional yang unik. Nama Pekbung diambil dari suara yang dihasilkan oleh instrumennya—bambu yang dipukul hingga mengeluarkan bunyi "pek" dan ban karet yang dipasang di tembikar (dalam bahasa Jawa disebut klenthing) yang berbunyi "bung." Kesenian ini memiliki akar yang dalam dalam sejarah dakwah Islam di desa tersebut. Awalnya, Pekbung digunakan sebagai sarana penyebaran ajaran Islam dan sering ditampilkan dalam berbagai acara penting seperti pesta pernikahan, sunatan, merti desa (upacara desa), penyambutan tamu, dan peringatan hari besar Islam. Tradisi ini tidak hanya menunjukkan keindahan musik tradisional, tetapi juga kekayaan nilai spiritual yang melekat pada kehidupan masyarakat setempat.

 

 

Selain Pekbung, mahasiswa juga diperkenalkan dengan Jatilan, sebuah tarian rakyat yang penuh dengan nilai sejarah dan makna simbolis. Jatilan, atau yang lebih dikenal sebagai tarian kuda lumping, menggambarkan kisah tentang semangat kepahlawanan dan kekuatan magis yang diyakini oleh masyarakat dapat melindungi mereka dari bahaya. Tarian ini menjadi lebih dari sekadar hiburan, melainkan juga sebagai media penting untuk pelestarian budaya. Gerakan yang indah dan kekompakan dalam penampilan Jatilan memperlihatkan dinamika antara kekuatan baik dan jahat, serta menekankan pentingnya kerjasama dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan tetap melestarikan Jatilan, masyarakat Desa Kalakijo tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.

 

Tidak kalah menarik, tradisi Panem Bromo juga menjadi fokus perhatian dalam perkenalan budaya ini. Panem Bromo adalah sebuah tembang atau nyanyian yang dilakukan secara berkelompok, yang bisa diiringi musik maupun tanpa musik. Tradisi ini sering disajikan seperti paduan suara yang membawakan penampilan musik dengan lirik berbahasa Jawa atau langgam Jawa. Dalam tradisi masyarakat Kalakijo, Panem Bromo biasanya digunakan untuk menyambut tamu penting, menciptakan suasana yang hangat dan penuh kekeluargaan. Dengan mengenalkan tradisi Panem Bromo


Melalui pengenalan budaya-budaya ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menghargai kekayaan budaya lokal serta terinspirasi untuk turut melestarikannya di masa depan.

 

Acara Penguatan Forum Pembauran Kebangsaan ini merupakan langkah strategis untuk membekali generasi muda, terutama mahasiswa, dalam menghadapi tantangan global di masa depan. Penting untuk terus mendorong partisipasi aktif generasi muda dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan dan pemanfaatan teknologi digital untuk memperkuat persatuan dan kesatuan sehingga tercipta kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga keutuhan dalam keberagaman.

 

“AR”